( Oleh: Nurlaila Purnama, S. Pd. I
Guru SDN 001 Tembilahan-Indragiri Hilir )
INHIL:Riaunet.com-Luasnya Akses Pendidikan dan Informasi Berdampak pada Merosotnya Kebudayaan.
Revolusi di era milineal membawa dampak pada semua segi kehidupan manusia. Artificial Intelligence berdampak pada semakin mudahnya melakukan suatu pekerjaan. Akses informasi apa saja dapat diperoleh semudah mengedipkan mata. Sehingga tidak ada alasan untuk bangsa Indonesia tertinggal dalam pendidikan. Akan tetapi mantapnya pengetahuan yang dibangun dengan internet of think ternyata menimbulkan dampak negatif yang serius pada sikap sosial bangsa Indonesia.
Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah telah terkikisnya nilai-nilai budaya sebagai jati diri bangsa. Arus pendidikan dan pemikiran manusia semakin maju, namun pewarisan kebudayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang bermartabat mengalami kemunduran. Kronisnya, kemajuan pendidikan hanya dilihat dari kemajuan pola pikir dan keberhasilan penciptaan produk dan budaya baru dengan menutupi budaya nenek moyang bangsa yang berbudi pekerti luhur. Akhirnya, tontonan, asupan, dan praktik masyarakat setiap harinya adalah orang kaya semakin kaya, orang miskin kehilangan semangat kerja keras dan rasa optimis, orang pintar semakin pintar membodohi. Situasi demikian menjadi santapan nilai ‘jelek’ anak bangsa setiap hari. Kepintaran dianggap sebagai suatu prestasi yang dilambangkan dengan angka dan sertifikat. Kesuksesan diraih dengan jiwa apatis dan individualitas tanpa rasa keterlibatan orang lain dibelakangnya. Angka yang tinggi dianggap sebagai suatu pencapaian hidup. Guru memotivasi siswa lebih cenderung kepada ancaman naik atau tidak naik kelas, lulus atau tidak lulus. Belum lagi promosi sekolah layaknya bisnis yang menguntungkan. Masyarakat dikenalkan dengan pendidikan yang mengedepankan iming-iming cepat mendapatkan pekerjaan. Barang-barang berharga yang berbau gadged dianggap suatu kebutuhan yang dipaksakan untuk dimiliki. Kondisi tersebut jika dibiarkan akan menyebabkan semakin lunturnya budaya bangsa dengan nilai kekeluargaan dan gotong royong. Jiwa nasionalisme dan patriotisme anak bangsa akan terkikis karena ego meraih keberhasilan sendiri dan pesimisme dalam ketertinggalan.
Memajukan Kebudayaan dengan Religius, Kekeluargaan, Gotong Royong, dan Nasionalisme
Pemikiran tentang pendidikan yang memerdekakan dengan mengutamakan kebudayaan merupakan kerangka berpikir dari Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara. Sehubungan dengan itu, dalam pidato Muhadjir Effendy selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di peringatan Hardiknas tahun 2018 mengatakan bahwa upaya yang dilakukan saat ini adalah menguatkan pendidikan dengan memperluas akses pendidikan yang berkualitas. Di samping itu, Indonesia sebagai negara Super Power kebudayaan harus ditunjukkan kepada dunia. Martabat bangsa Indonesia akan selalu berdiri kokoh bilamana pendidikan yang telah maju dikuatkan, dan kebudayaan yang telah mundur dimajukan kembali.
Akan tetapi, harapan tersebut tidak akan tercapai tanpa sikap tanggap menyikapi dinamika virtual reality saat ini. ‘Kecerdasan Buatan’ seperti tidak sebanding dengan pemajuan kebudayaan nasional. Hal ini wajib dipikirkan oleh para pemimpin bangsa, instansi, lembaga pendidikan, LSM, guru, dan orangtua yang menjadi komponen sumber daya pendidikan.
Pesan Anies Baswedan menjelang Hardiknas saat menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 2015, bahwa aset terbesar bangsa adalah manusia Indonesia itu sendiri. Bukan minyak, bukan hasil laut, atau hasil bumi lainnya. Oleh karena itu yang perlu dibangun adalah potensi manusia Indonesia itu sendiri. Hadir, menginspirasi, berbagi, dan terlibat bagi pendidikan. Solusi yang dapat diberikan untuk masa depan bangsa ini adalah mengembalikan pola pikir masyarakat bahwa sikap materialisme dan hedonisme tidak akan membawa bangsa ini ke arah kesuksesan. Meskipun saat ini bangsa dituntut menguasai keterampilan virtual yang melibatkan internet of think, namun harus dibarengi dengan semangat mengembalikan budaya bangsa yang religius, kekeluargaan, gotong royong, dan nasionalisme. Jika tidak, maka kemerataan bangunan mental bangsa ini tidak akan terwujud. Semangat religius harus menjadi dasar utama untuk menopang Penguatan Pendidikan Karakter seperti yang diatur dalam PP Nomor 78 tahun 2017. Demikian pula upaya pemajuan kebudayaan seperti yang terkonsep pada UU Nomor 5 Tahun 2017 melalui strategi Perlindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan tanpa dasar rasa kekeluargaan, gotong royong, dan nasionalisme sulit untuk diwujudkan.
Anjuran Presiden Joko Widodo tentang olah pikir, olah hati, olah raga, dan olah karsa tidak akan menjadi olahan yang seimbang pada mental bangsa ini tanpa didasari penguatan sikap religius secara otoriter dan berdasar. Penguatan tersebut wajib adanya di lingkungan keluarga, lalu dibawa ke lingkungan masyarakat, dan juga dipraktikkan di lingkungan lembaga pendidikan, lingkungan perusahaan dan dunia kerja, lingkungan instansi pemerintah, dan lingkungan organisasi.
Sikap otoriter orang tua terhadap anak dalam menanamkan pengamalan ajaran agama tidak bisa ditawar. Meskipun dalam praktiknya tetap memperhatikan teori pendidikan dan normatif. Dalam Islam, seperti aktivitas ‘magrib mengaji’ merupakan budaya religius yang diwariskan ulama terdahulu. Demikian pula pada agama lain, pewarisan budaya religius bagi pemeluknya tentu sudah ada sejak dulu. Di samping itu sikap kekeluargaan dan gotong royong seperti makan bersama, do’a bersama, ta’ziyah, kenduri, jum’at bersih, dan lainnya harus menjadi corak yang mewarnai bangunan rumah tangga hingga masyarakat. Berawal dari hal tersebut, maka rasa nasionalisme sebagai bangsa yang besar akan mengiringi setiap aktifitas dan keberadaan rakyat Indonesia.
Akhirnya, meskipun bersekolah di luar negeri dan atau menjadi TKI, individu bangsa ini akan menonjolkan budaya yang kuat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
Seseorang yang religius akan mengamalkan ajaran agamanya. Bangsa Indonesia dikatakan religius jika menghayati sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kasus prostitusi online, korupsi dana bantuan bencana alam, dan politik praktis yang memecah belah jelang Pemilu menandakan bahwa masyarakat sudah mengabaikan konsep “berlomba-lomba dalam kebaikan dan takwa”. Perintah Ilahi untuk memelihara diri dan keluarga dari ‘Api Neraka’ sudah tidak diindahkan lagi. Berawal dari merosotnya pengamalan nilai-nilai religius, maka akan terlahir generasi yang jauh dari ajaran agama, materialisme, dan hedonisme. Sebaliknya, jika pengamalan ajaran agama begitu kuat pada diri dan lingkungan, maka akan tercipta individu dan ummat yang berbudaya dan berakhlak. Selanjutnya, sikap kekeluargaan dan gotong royong serta nasionalisme akan tercipta jika kita menghayati dan mengamalkan sila ke-dua, ke-tiga, ke-empat, dan ke-lima pada Pancasila.
Terakhir, akan semakin cemerlanglah bangsa ini jika penguatan pendidikan yang terkonsep dapat dilaksanakan dengan baik. Kurikulum 2013 yang diterapkan di sekolah sudah memenuhi penguatan semua segi kehidupan secara terintegrasi. Kurikulum ini mendorong kreatifitas guru, anak didik, dan masyarakat. Guru harus mengelola pembelajaran dengan mentransfer nilai. Menjadi teladan manusia yang berbudi pekerti luhur adalah hal utama dimiliki pendidik. Guru berupaya mengolah kemampuan berpikir peserta didik dalam berbagai keterampilan dengan sikap bermanifestasikan keimanan dan budaya. Akhirnya, perwujudan generasi yang beriman dan bertakwa, berbudaya, cerdas, dan terampil menjadi satu kesatuan diri bangsa Indonesia. Dengan demikian pendidikan yang semakin maju akan menjadi semakin kuat. Begitu pula kebudayaan bangsa yang nampaknya merosot akan menjadi maju sebagai karakter yang melekat dan kokoh.(rls).
Komentar