AKBAR TANDJUNG, ANTARA KONSTITUSI DAN KONTRAVERSI ISU

Inhil362 views

Penulis : M.Tahir Wailissa

INHIL:Riaunet.com-Statement Akbar Tandjung seperti dilansir media online terkait pemakjulan sadam Al Jihad dari jabatannya sebagai ketua umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) oleh Majelis Pengawas dan Konsultasi (MPK) itu terkesan dipolitisir. Sebab menurut hemat kami, Akbar Tandjung sebagai Tokoh nasional dalam memberikan statement tentu sangat mempertimbangkan segala aspek, dan tak bisa dipahami linier. Namun harus ditelisik lebih spesifik apa maksud dibalik pernyataan tokoh nasional ini.

Menurut hemat kami, statement Akbar Tandjung itu memiliki pesan ganda. Yang pertama ialah pesan “konstitusional” dan yang kedua ialah pesan “Konsensus”. Pesan konstitusional yang mesti dipahami secara spesifik mengingat Indonesia adalah Negara hukum (Rechtstaat), dan bukan Negara kekuasaan (machstaat), karenanya Akbar Tandjung berusaha mengedepankan Azas PRESUMTION OF INNOCENCE (Praduga Tak Bersalah) serta Azas EQUALITY BEFORE THE LAW “kesederajatan di mata hukum” Bahwa semua orang dipandang sama hak, harkat dan martabatnya di mata hukum. Tanpa ada pengklasifikasian karena jabatan dan lain sebagainya. Hal ini ini pula mengandung arti bahwa Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) HMI harusnya menjadi pedoman dan acuan bagi
setiap kader HMI dalam menjalankan roda organisasi terlebih sebagai Ketua Umum dan Pengurus agar dapat menjadi tauladan bagi kader yang lain, bukan malah sebaliknya. Konstitusi juga mengatur hak dan kewajiban bagi setiap kader, tentang bagaimana seharusnya bertindak dan bertingkah laku sesuai dengan Azas, Tujuan, Usaha dan Sifat yang diintegrasikan dalam rangka menggapai Ridha Allah SWT.

Mengutip pernyataan Akbar Tandjung terkait Polemik internal PB HMI,
1. “Saddam itu adalah ketum PB HMI hasil Kongres, kalau seandainya ada langkah-langkah yang dilakukan oleh katakanlah tokoh-tokoh HMI atau kader-kader HMI melalui suatu mekanisme yang tidak diatur dalam AD/ART berkaitan dengan soal posisi ketua umum PB HMI, tentu bisa dianggap tidak sejalan atau tidak sesuai (Inkonstitusional).

– Kalimat ini menegaskan bahwa jika langkah yang ditempuh terkait pemakzulan ketua umum tidak diatur dalam AD/ART maka pemakzulan tersebut di nilai inkonstitusional, tapi jika langkah yang ditempuh (MPK HMI) itu sesuai dengan AD/ART HMI maka, Pemakzulan Sadam Al Jihad dari jabatannya selaku ketua umum dinilai (Konstitusional/Legal) dan harus diterima oleh seluruh kader HMI se Indonesia sebagai bagian dari ketundukan dan ketaatan kita terhadap AD/ART himpunan.

Baca Juga:  Bupati Inhil Sampaikan 4 Ranperda Pada Paripurna Ke-3 Masa Persidangan 1

2. Saya diperlihatkan foto (asusila diduga Saddam), terus terang saja respon saya yang pertama, saya tidak langsung menganggap itu Saddam karena saya kira bukan Saddam, jika itu Saddam, jadi bagaimana kita bisa membuktikan bahwa itu Saddam,” Minggu (13/1/2019).

– Akbar Tandjung berusaha mengedepankan Azas “PRESUMTION OF INNOCENCE”
“praduga tak bersalah”. Mengingat, alat bukti (Photo) yang diperlihatkan kepadanya dapat dijadikan bukti permulaan yang cukup membaca “Chandra M Hamzah., dalam bukunya Penjelasan Hukum tentang Bukti Permulaan yang Cukup,. MPK HMI juga membutuhkan alat bukti tambahan agar dapat meyakini bahwa yang bersangkutan benar melakukan perbuatan sebagaimana dituduhkan. Mengacu pada standar minimal dua alat bukti sebagaimana dimaksud Dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP [4] yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Maka melalui sidang MPK HMI para penggugat menghadirkan “Korban” berinisial (I) untuk memberikan kesaksian, setelah disumpah dibawah “Al-Qur’an” untuk memberikan kesaksian sebenar-benarnya, korban membenarkan perbuatan mereka sebagaimana yang tertuang dalam photo-photo amoral tersebut.

3. Pengetahuan saya, instansi pengambilan tertinggi suatu organisasi adalah Munas, Kongres, Muktamar, yang juga mempunyai kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban pengurus dan sekaligus bisa bilamana perlu melakukan pergantian terhadap pengurus.

– Kongres, Munas, Muktamar tentu hal ini menjadi lumrah jika suatu organisasi berjalan sebagaimana biasanya (stabil), tapi jika dalam hal terjadi ketidak stabilan organisasi karena ketua umum atau pengurus yang lain dalam pola sikap dan pola lakunya melanggar ketentuan AD/ART HMI maka tentu, ada upaya lain yang harus ditempuh dalam rangka melanjutkan roda organisasi.

Exp: Kordinator MN KAHMI hasil MUNAS di Medan yang berinisial (K) juga diberhentikan dari jabatannya oleh Majelis Etik KAHMI karena dinilai terlibat langsung dalam “Money Politic dan Cost Politik di Munas KAHMI Medan” dan selanjutnya digantikan oleh Kanda Hamdan Zoelva.

Mungkin hal ini dapat dikategorikan kegentingan memaksa, bahwa syarat agar suatu keadaan secara objektif dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa ialah adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang yang berlaku,” oleh karenanya Majelis Pengawas dan Konsultasi himpunan Mahasiswa Islam (MPK HMI) sebagaimana diatur dalam ART HMI pasal 41, 42 dan 43 diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara-perkara konstitusional yang hasilnya bersifat Final dan mengikat.

Baca Juga:  APBD Inhil Tahun 2019 di sahkan, di Pimpin langsung Ketua DPRD Inhil.

Bahwa apa yang di putuskan MPK HMI berdasar pada adanya peristiwa hukum yang diakibatkan dari adanya perbuatan hukum yang melanggar hukum (AD/ART HMI). Asumsinya adalah adanya pengaduan pihak lain “korban” yang mengadu dalam persidangan MPK HMI yang merasa dirugikan pada kasus “amoral” dimaksud. Sehingga bagi kami, Sadam sendirilah yang telah memakzulkan dirinya. Bukan MPK. Sebab MPK hanya memutuskan perkara atas perbuatan hukum yang merugikan pihak lain serta mencemarkan nama baik institusi. Mengacu pada peristiwa hukum itulah, MPK setelah empat kali bersidang, mengeluarkan Surat Keputusan nomor : 08/KPTS/A/03/1440 H memperhatikan pasal 3, 4, 5 Anggaran Dasar HMI serta pasal 6, 20, 41, 42, dan 43 Anggaran Rumah Tangga HMI, memberhentikan Sadam Al Jihad dari jabatannya selaku ketua umum karena perbuatan melawan hukum.

Yang kedua ialah, pesan “Konsesnsus”. Bahwa jika Sadam terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar AD/ART maka mesti langkah yang ditempuh adalah konsesnsus bersama dalam rangka menyelamatkan Himpunan. Mengingat Bang Akbar yang sering dikategorikan sebagai figur politisi profesional yang memiliki semangat konsensus. Artinya, pemikiran maupun langkah-langkah praktis politiknya selalu mengedepankan jalur kompromi atau kerjasama; bukan dengan cara menabuh genderang perang. Apalagi Indonesia saat ini dihadapkan pada pemilu 2019, tentu Akbar Tandjung tak ingin organisasi yang pernah dipimpinnya itu larut dalam dinamika internal yang berkepanjangan, dan kader-kadernya luput dari ide dan gagasan Negara Bangsa di tengah paradoks demokrasi kita. kemajemukan kader yang syarat dengan kepentingan Clantis juga harus sadar bahwa kekuatan kader HMI adalah kekuatan moral keumatan dan kebangsaan, bukan kekuatan politik. Konsistensi gerakan moral harus terhindar dari gerakan politik, sebab jika HMI diseret dalam pusaran politik, maka kita akan kehilangan objektivitas dan orisinalitasnya, bukan hanya itu, bahkan HMI juga akan kehilangan ruh perjuangannya karena telah menjadi Organisasi sempalan, dan akibatnya himpunan ini akan kehilangan dukungan moral masyarakat.[Rls/HD].

Komentar