DOMINASI MODAL GLOBAL DI PILPRES 2019

Aktivis, Nasional352 views

Oleh : M.Tahir Wailissa

Fungsionaris PBHMI.

Jakarta:Riaunet.com-Kontestasi Pemilihan Presiden 2019 sudah tak nampak sebagai hajatan rakyat. pasalnya parade kekuatan masing-masing kubu sangat jauh dari cita-cita demokrasi dan telah mengabaikan semangat dan hakikat reformasi, keduanya saling klaim seolah–olah kedua kandidat ini mampu menyelesaikan segala problematika keumatan dan kebangsaan kita. Apa yang menjadi wacana diskursus sama sekali tidak menyentuh akar persoalan Bangsa ini, bagaimana tidak rakyat kita disuguhkan pada isu masa lalu, isu (Hoaks), mencaci, dan saling fitnah antar sesama anak bangsa. Sementara Negara kita dihadapkan pada musibah Gempa, tsunami, tanah longsor, kemarau, gagal panen belum lagi merosotnya nilai tukar rupiah serta eksploitasi sumber daya alam (SDA) dan ini sangat jauh dari wacana elit politik kita. Tentu hal ini akan berdampak buruk bagi pembentukan watak dan karakter anak bangsa serta berbahaya bagi keutuhan dan kelanjutan nasib satu Negara Bangsa.

Moh. Jumhur Hidayat (Manifesto Kekuatan Ketiga) menegaskan bahwa gelora reformasi sekarang ini telah melupakan hakikat ketertindasan, mungkinkah dengan kebebasan politik atau demokrasi politik, maka ketertindasan structural berupa kesengsaraan dan kebodohan pun tidak terjadi lagi. Mereka ini Seakan-akan adalah jalan bagi rakyat untuk mendapatkan kebahagiaan. Sementara kita sendiri menyaksikan rakyat terus berteriak lantang menyampaikan protes di pasar, kebun, emperan jalan, kolong jembatan, rumah hingga tempat peribadatan atas keberpihakan para politisi kita yang lebih menguntungkan konglomerat atas kenaikan harga BBM, Listrik, serta kebutuhan pokok lainnya. Belum lagi upah buruh yang tidak merata, penggusuran pedagang kaki lima, carut marutnya penegakan hukum yang tajam kebawah dan tumpul keatas, konflik etnis dan agama yang tak kunjung usai, serta pengangguran yang terus meningkat.

permasalahan yang semakin akut ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan hanya berseteru soal kelompok siapa yang paling pantas menyandang gelar Aktivis 98, Alumni 212, pancasilais atau agamis, Islam timur tengah atau Islam Nusantara. Padahal sebagai pemeluk islam kita semua memahami bahwa Islam tidak mengajarkan untuk saling memfitnah, mengadu domba antar sesama, Islam pula tak dapat dibatasi pada teritori atau symbol-simbol tertentu, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil alamin), bukankah Nurcholish Madjid dalam (Islam, Kemodernan, dan KeIndonesiaan) telah memberikan jalan tengah agar kita semua tidak terjebak pada politik aliran (Clantism) yang mengarah pada perebutan kekuasaan dan bagi-bagi jatah namun lebih daripada itu untuk membangun masyarakat Indonesia yang sejahtera, berkeadilan, berdaulat dan bermartabat serta dapat terhindar dari kemerosotan dan ancaman disintegrasi Bangsa.

Jika kita telisik tentang Sejarah perjalanan Bangsa ini. Dimulai dari masa feodalisme kerajaan, kolonialisme, awal kemerdekaan, orde baru hingga Reformasi. Kita akan sampai pada kesimpulan bahwa sejarah kita adalah sejarah ketertindasan. Tertindas oleh kaum Feodal (Kerajaan), datangnya bangsa-bangsa dari luar bumi pertiwi (colonialism) hingga penjajah yang terlahir dari kandungan ibu pertiwi (new colonialsm). Tentu sejarah ini menjadi penting untuk mengetahui peran dan posisi kita sebagai generasi penerus estapet perjuangan bangsa agar tidak larut dalam dinamika politik aliran / pertarungan ideologi yang begitu mendominasi dalam setiap babakan sejarah perjalan bangsa dan hanya berujung pada perebutan kekuasaan atau sekedar menjaga status kekuasaan (status quo).

Baca Juga:  Kecam Aksi Teror di Makassar, Pelajar NU di Riau: Terorisme Musuh Kita Bersama

Runtuhnya system otoriter militeristik (orde baru) tidak lantas memberikan keyakinan kepada kita tentang kepastian berakhirnya system feodal, dan colonial. Kita semestinya harus tetap berikhtiar sebab ada upaya untuk memarginalkan rakyat dari segi ekonomi dan politik. Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi adalah tujuan dari apa yang kita sebut sebagai reformasi, jika salah satu diantara keduanya tidak dijalankan maka sesungguhnya reformasi kita telah dihianati dan menuai jalan buntu.

Untuk menghindari masa depan rakyat yang tak pasti ini, maka seluruh elemen bangsa harus mendorong para pengambil keputusan di republik ini untuk menerapkan demokrasi ekonomi disamping demokrasi politik, tentu para Konglomerat (Pemilik Modal) akan sangat keberatan sebab jika demokrasi ekonomi dijalankan hal ini akan memotong mata rantai keuntungan yang selama ini diperoleh. yang dengan keuntungan inilah para (Pemilik Modal) menjadikannya senjata ampuh untuk mempengaruhi kekuatan politik dominan agar memenangkan kontestasi pilpres sebagai mitos hajatan nasional (rakyat) yang sejatinya adalah terciptanya pelayan bagi permainan pasar global (global market game). Jika demikian adanya maka kandidasi pilpres bukan lagi hajatan rakyat melainkan pertarungan modal dan relasi kekuasaan. (mistik dan tahayul demokrasi pasar).

Rusdi Abidin dalam tulisannya (Pilpres 2019), bahwa untuk menempati panggung politik demokrasi menjadi capres tidak semata ditentukan oleh syarat konstitusi tetapi juga syarat penguasaan modal adalah kenyataan yang tidak dapat dinafikan. panggung politik tersebut sudah terlanjur tercipta sedemikian mahal dan seolah hanya bisa menjadi arena kontestasi yang berbasis pada penguasaan modal (pasar uang dan relasi bisnis).

Efek dari kesemuanya ini adalah terciptanya ketergantungan yang akan menguras anggaran negara serta energy produktif rakyat hingga perlahan menghabisi watak kepemimpinan generasi dan menyeret mereka untuk percaya pada harta kekayaan. Akibatnya mengaburkan musuh bersama dalam setiap kontestasi pilpres. Dimana satu pihak sibuk menyuarakan nasionalisme dan pihak lain sibuk merente system. Atau sama-sama sibuk mengerus kekayaan negara & sama-sama pula sibuk sibuk mengurus kelompok dan mencitrakan diri. Tema nasionalisme yang diusung hanyalah slogan untuk menyembunyikan sikap politik kepura-puraan mereka, alhasil masing-masing dari mereka tak berdaya mengatasi permusuhan dan dendam politik kolosal yang memang sudah tumbuh subur oleh praktik politik aliran serta tak berdaya mengatasi kekuatan luar yang terus mengepung nusantara untuk dijadikan ladang eksploitasi SDA dan imprialis bagi kemajuan Negara-negara industry.

Perubahan pada lingkungan internasional yang mengalami pergeseran geografis kekuatan ekonomi. Dimana sebelumnya kegiatan ekonomi secara aktif masih terjadi di Negara-negara dilautan Atlantik yang meliputi pantai timur Amerika Serikat, Kanada dan Eropa, namun sekarang terjadi pergeseran menuju Negara-negara dilautan Pasifik. Semakin kompetitifnya persaingan antar bangsa dalam perdagangan dunia, maka ketegangan dunia bukan lagi ditandai dengan ketegangan ideologi antar Negara-negara komunis dan kapitalis melainkan lebih ditandai dengan interaksi perdagangan dan investasi antar bangsa (Pasar modal dan relasi bisnis). Namun demikian interaksi pasar modal ini tidaklah seimbang khususnya antar Negara maju dengan Negara berkembang atau miskin, mengingat Negara maju lebih siap dalam system managemen, SDM, maupun tekhnologi dibanding Negara-negara berkembang bekas jajahan ratusan tahun ini.

Baca Juga:  Ciptakan Suasana Kondusif, Polsek Cengkareng Bersiaga Menjelang Natal dan Pasca Tahun Baru.

Pada saat perang dingin, dunia terbelah menjadi Blok Timur dan Blok Barat, maka saat ini dunia terbagi antara Blok Utara dan Blok Selatan. Dimana Negara-negara utara adalah Negara-negara kaya, sementara Negara-negara selatan adalah Negara berkembang / Miskin termasuk Indonesia.

Semenjak dilaksanakannya pemilu bebas pada tahun 1999 hingga Pilpres 2019. Masyarakat kita hanya dijadikan sebagai objek mobilisasi dan manipulasi oleh para politisi dan pemilik modal atas nama demokrasi (money politik). Buktinya Visi-Misi kesejahteraan yang digemakan disetiap momentum pilpres hingga saat ini tak merubah apapun. Malah sebaliknya Angka kemiskinan dan pengangguran kita terus meningkat. Sadar atau tidak, tapi jiwa dan karakter feodal, korupsi, kolusi, nepotisme dan sebagainya telah menjamur disetiap jiwa para pengambil keputusan bangsa ini. Mulai dari pusat hingga ke daerah. Tak heran jika fakta kehidupan berbangsa dan bernegara kita ialah yang kaya semakin kaya dan yang miskin kekal bertambah (kompromi penguasa dan pengusaha internasional).

Dari seluruh rangkaian pilpres 2019 ini telah memberikan signal ganda eksistensi abu-abu Negara bangsa antara lain. Pertama, bahwa kontestasi pilpres bukan semata-mata agenda persaingan politik anak bangsa menjadi pemimpin nasional. Namun juga memiliki pesan lain antara para actor dan agen pelaku pasar uang/modal internasional dengan memanfaatkan pilpres sebagai arena pembuktian kehebatan “dominasi”. Kedua pilpres tidak saja menggambarkan kompetisi untuk mendapatkan mandate rakyat dan tercipta kedaulatan politik, tetapi harus dipahami sebagai persaingan meneguhkan kedaulatan ekonomi oleh kekuatan pasar yang mengendalikan uang, perdagangan internasional, industry ilmu pengetahuan, informasi dan tekhnologi. Keduanya bersaing untuk meneguhkan kedaulatan politiknya masing-masing. Diantara keduanya siapa yang memiliki saham utama pengelolaan Negara. Rakyatkah atau mereka yang merajai dunia bisnis-perdagangan internasional & industry.

Yang terpenting dari konstestasi pilpres ini ialah melahirkan pemimpin nasionalis secara demokratis serta adanya kemandirian ekonomi dan politik demi kesejahteraan rakyat. Olehnya sangatlah penting bagi setiap generasi muda bangsa untuk tetap optimis, menumbuhkan semangat nasionalisme kerakyatan guna mendorong perubahan serta mempercepat proses transformasi social menuju masa depan Indonesia yang jauh lebih mandiri dan bermartabat menghadapi kompetisi ekonomi di abad Pasifik ini.[rls].

Komentar