Rohul:Riaunet.com– Dunia akademik kembali tercoreng oleh dugaan ketidakadilan dalam kampus. Purwantoro, SE., M.Si, PhD, dosen tetap Universitas Pasir Pengaraian (UPP), menggugat Rektor UPP ke Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian atas keputusan skorsing satu tahun yang dijatuhkan tanpa proses klarifikasi yang transparan. Gugatan dengan nomor perkara 14/Pdt.G/2025/PN.Prp ini diajukan setelah upaya penyelesaian secara kekeluargaan tidak membuahkan hasil.
Keputusan skorsing yang tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 0249/SK/UPP/II/2025 tersebut dinilai sewenang-wenang dan tidak mencerminkan prinsip keadilan akademik. Menurut kuasa hukumnya, Dr. Parlindungan, SH, MH, CLA, dari Kantor Hukum Parlindungan & Rekan, kliennya tidak pernah diberi kesempatan untuk membela diri atau menjelaskan duduk perkara sebelum sanksi dijatuhkan.
“Seorang dosen yang berdedikasi seharusnya mendapat penghargaan, bukan hukuman tanpa alasan yang jelas. Klien kami bahkan menempuh pendidikan S3 dengan biaya sendiri tanpa dukungan universitas, tetapi justru dihukum tanpa transparansi,” ujar Dr. Parlindungan.
Selain mencederai prinsip keadilan, keputusan skorsing ini juga berdampak serius terhadap hak-hak Purwantoro sebagai dosen tetap. Selama skorsing, ia kehilangan gaji, tunjangan hari raya (THR), serta hak akademiknya untuk menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi, tanpa adanya pertimbangan yang bersangkutan punya tanggungan keluarga, anak dan istri yang harus di biayai.
Tak tinggal diam, Purwantoro telah berusaha mencari keadilan dengan mengirim surat kepada Rektor UPP agar adanya penyelesaian secara kekeluargaan, namun tidak mendapat respons. Ia juga telah mengadu ke Menteri Sains dan Teknologi, serta menembuskan surat kepada Komisi X DPR RI Bidang Pendidikan, Bupati dan Wakil Bupati Rokan Hulu, serta pihak-pihak terkait lainnya untuk mendapatkan perlindungan sebagai dosen tetap yang terdaftar pada Pangkalan Data Perguruan Tinggi Indonesia.
“Menurut saya, terhadap kasus ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi dunia akademik di Indonesia. Jika kampus yang seharusnya menjadi benteng keadilan dan kebebasan akademik justru melakukan tindakan yang tidak transparan, bagaimana masa depan para pendidik dan mahasiswa di lingkungan tersebut?” tegas Parlindungan.
Purwantoro melalui kuasa hukumnya Dr. Parlindungan berharap, gugatan ini dapat memulihkan nama baiknya, mengembalikan hak-haknya sebagai dosen tetap, serta menjadi peringatan bagi dunia akademik agar praktik ketidakadilan semacam ini tidak terulang.
“Kampus adalah tempat membangun ilmu dan keadilan. Jika tenaga pendidiknya saja dikriminalisasi, bagaimana bisa kita mengajarkan keadilan kepada mahasiswa dan masyarakat luas di negeri ini?” pungkas Dr. Parlindungan.(Na)
Komentar