Pekanbaru:Riaunet.com- Cengkeraman wabah Virus Corona dalam beberapa tahun terakhir berdampak besar terhadap terhadap berbagai aspek kehidupan. Penegakan hukum terdampak. Khususnya dalam melaksanakan hukum acara pidana. Sejumlah penegak hukumpun berupaya mencari jalan keluar dalam mengatasi keterbatasan penegakan hukum dan berperkara pidana agar terhindar dari penularan Covid 19.
Melalui sepucuk surat bernomor M.HH.PK.01.01.04 TANGGAL 24 MARET 2020 , Menteri hukum dan HAM menerbitkan kebijakan berupa penundaan sementara pengiriman tahanan ke rumah tahanan / Lapas di lingkungan Kemenkumham sebagai upaya pencegahan covid 19, gayungpun bersambut Kejaksaan Agung pun membuat hal serupa melalui surat Nomor B.049/SUJA/03/2020 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Tugas , Fungsi dan kewenangan di tengah upaya mencegah penyebaran covid 19 tertanggal 27 Maret 2020 membuat kebijakan serupa, sama halnya dengan Kemenkumham dan Kejaksaan Agung, maka Mahkamah Agung menerbitkan surat No. 379/DJU/PS.003/2020 PERIHAL Persidangan perkara secara teleconference.
Ketiga institusi penegak hukum itu akhirnya menjalin kerjasama yang di tuangkan dalam perjanjian kerjasama Nomor : 402/DJU/HM.01.1/4/2020, nomor ; KEP-17/E/Ejp/04/2020, nomor PAS-08.HH.05.05 tahun 2020 tanggal 13 april 2020 tentang pelaksanaan persidangan melalui Teleconference, namun menjadi persoalan apakah UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP telah mengatur tentang Hukum Acara Persidangan secara daring, kemudian apakah landasan Hukum Perjanjian kerjasama ketiga instansi itu cukup.
Proses persidangan perkara pidana yang diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia dilakukan melalui tatap muka Hakim, Jaksa ,Terdakwa dan Penasehat hukum didalam ruang sidang Pengadilan. Kehadiran secara fisik terdakwa dan saksi di ruang sidang pengadilan diatur dalam pasal 185 ayat (1) KUHAP dan Pasal 189 ayat (10 KUHAP.
Pasal 185 ayat (1) KUHAP menyebutkan : Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan sedangkan Pasal 189 ayat (1) KUHAP menyatakan : “Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”.
Apabila di telisik pasal 185 ayat (1) KUHAP dan pasal 189 ayat (1) KUHAP, setiap keterangan saksi dan terdakwa harus dinyatakan di depan persidangan, namun dalam kasus Bulog Gate 2002 dengan terdakwa mantan Kabulog, misalnya pemeriksaan saksi Prof . Dr .BJ Habibi tidak dilakukan di depan pengadialan Melainkan secara fisik berada di Jerman dan keterangan nya di sampaikan melalui Teleconference.
Maka dalam hal ini, KUHAP memberikan pengecualian dalam pasal 162 ayat (1 ) KUHAP yang membolehkan penyampaian keterangan saksi tanpa harus dilakukan di depan persidagan yakni : Jika saksi sesudah memberi ketrangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak di panggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubu ngan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah di berikannya itu di bacakan .
Kalau di cermati media belakangan ini, ramai membicarakan soal pemanggilan seorang saksi dalam perkara tindak pidana korupsi di pengadilan TIPIKOR Banjarmasin , saksi tersebut adalah Mardani H.Maming ( tempo.co ) membaca pemberitaan yang marak temtang ketidak hadiran saksi kakrena alasan tertentu sebagaimana dalam pemberitaan tersebut diantaranya adalah karena yang bersangkutan sedang menjalani pengobatan di singapura, dalam agenda sidang di sebutkan bahwa sidang akan dilakukan secara daring sebagaimana persetujuan majelis hakim dalam sidang terdahulu ,kemudian majelis hakim menolak kehadiran saksi dan malah menerbitkan surat Panggilan Paksa terhadap saksi.
Menurut pengamatan penulis berdasarkan fakta tersebut ada suatu kejanggalan, karena dalam persidangan sebelumnya sudah di sepakati oleh majelis hakim untuk di periksa secara virtual, terlebih lagi instrumen unyuk pemeriksaan saksi secara virtual memang di perbolehkan oleh peraturan Mahkamah Agung ( PERMA) No 4 tahun 2020 tentang Administrasi dan persidangan Perkara Pidana di pengadilan secara elektronik.
Menurut penulis pemanggilan paksa terhadap saksi tidak perlu di terbitkan apabila adanya komunikasi yang baik antara aparat penegak hukum dengan saksi atau pihak lainnya dan saksi bersikap kooperatif.
Mencermati tentang penjelasan di terbitkannya surat panggilan paksa terhadap saksi ini terkesan berlebihan, pada asasnya persidangan yang dilakukan secara daring atau virtual maupun secara langsung tidak terdapat perbedaan secara signifikan dari segi hasil pemeriksaan dan kekuatan mengikat dari alat bukti yang di dapatkan yang membedakan nya hanyalah platform teknologi informasi serta sarana elektonik lainnya , hal ini sesuai dengan PERMA No 4 tahun 2020 yang menegaskan bahwa keterangan saksi secara virtual tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sama.
Mahkamah Agung sudah mempunyai terobosan untuk melaksanakan persidangan melalui daring guna melindungi saksi / terdakwa dari ancaman penyebaran virus Covid 19, Hal ini seharusnya di ikuti oleh hakim-hakim yang berada di bawah lingkungan Peradilan Umum, terobosan yang dilakukan pada dasarnya tidak merobah ketentuan di dalam KUHAP, yakni berupa pemeriksaan persidangan tanpa menempatkan hakim dan panitera, penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum saksi maupun ahli dalam satu ruang sidang, namun semua semua pihak itu terhubung antara lain melalui teleconference atau sarana komunikasi IT, jadi hakim dan panitera di gedung pengadilan dalam ruang sidang, kemudian penuntut Umum, terdakwa, saksi, ahli hadir secara virtual di persidangan dalam jaringan dan tempat yang berbeda dalam waktu bersamaan .
Berdasarkan hal –hal yang telah di uraikan diatas bahwa persidangan daring / teleconference merupakan merupakan suatu terobosan baru yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan mengeluarkan PERMA NO 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di pengadilan secara elektronik. PERMA ini di tujukan salah satunya untuk membantu pencari keadilan dalam mengatasi segala hamabatan dan rintangan umtuk mewujudkan peradilan sederhana , cepat dan biaya ringan, dengan harapan penyelesaian perkara yang terkendala keadaan tertentu termasuk pandemi covid 19 membutuhkan penyelesaian secara cepat dengan tetap menghormati Hak Asasi Manusia.(rls)
Komentar