[Opini] ANAK TIRI DI NEGERI SENDIRI

Aktivis, Inhil250 views

Penulis : Ashar Putra Pradana

INHIL:Riaunet.com-Situasi ketidakadilan di negeri ini, jika dibandingkan dengan niat baik atau mungkin juga citra positif yang hendak dibangun oleh Pemerintah Indonesia di mata dunia internasional cukup bertolak belakang. Selain 3 (tiga) prestasi bombastis sebagai tuan rumah (Asian Games, Asian Para Games dan Anual Meeting IMF) salah satu yang tidak kalah menghebohkan adalah peristiwa penting tanggal 26 maret 2018 lalu, dimana saat itu Presiden Jokowi meneken kebijakan baru berupa Peraturan Presiden (Perpres) No. 20 tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Dasar dikeluarkan Kebijakan itu bertujuan untuk mendukung perekonomian nasional dan perluasan kesempatan kerja.

Sepintas, hadirnya Kebijakan diatas mau menunjukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang murah hati dan bisa berlaku Adil bagi siapa saja yang datang (WNA/TKA). Tapi hal itu tidak untuk urusan rumah tangga sendiri, karena keadilan sejatinya seperti barang mewah yang tak mungkin dijangkau oleh kaum jelata.

Apa yang dialami oleh Jemaat GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi adalah cerminan dari betapa sulitnya keadilan digapai di negara yang katanya menghormati dan menjunjung tinggi HAM. Mereka ibarat anak tiri yang tidak diakui oleh Ibu pertiwinya sendiri.
Di aduk lagi kopi nya nyonya tua hingga kegaduhan itu menjadi polemik dalam tantanan sosial yang akan bermuara pada dis_Integrasi bangsa.

Catatan masa pasca reformasi menunjukkan betapa kondisi sosial, ekonomi, politik kian masuk ke dalam suatu krisis multi-dimensional. Dengan demikian, dapat dimengerti mengapa banyak masyarakat semakin kehilangan makna atas proses demokratisasi di Indonesia, dan karenanya semakin tidak percaya dengan proses-proses politik yang sedang berjalan atau mengalami distrust terhadap sistem politik, kepemimpinan politik, organisasi politik serta lembaga-lembaga politik (formal mau pun non-formal). Kondisi ini paling tidak oleh sebagian kalangan dikuatirkan akan menuju stagnasi politik, dengan demikian projek reformasi pun akan gagal, yang ujungnya akan bisa menimbulkan krisis politik dan ekonomi yang jauh lebih parah dari yang sebelumnya pernah dialami.

Harus diakui, perubahan sistem politik di Indonesia yang berjalan sangat cepat sejak reformasi 1998 tidak sepenuhnya berada di dalam kontrol kaum pergerakan, untuk tidak dikatakan telah jatuh ke tangan kelompok ideologis lain. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kekuatan liberal yang memasukkan ide-ide liberalisasi politik sekaligus liberalisasi ekonomi, lebih dominan. Jika pun terjadi sirkulasi kepemimpinan elit politik di negeri ini, sesungguhnya perputaran itu sekaligus menyingkirkan kalangan kiri dan sosial-demokrasi, meski ide reformasi sebetulnya digagas oleh kelompok ini. Berbagai alasan penyebab bisa diuraikan, namun yang paling pokok adalah kegagalan membangun organisasi strategis di dalam mengarahkan perubahan. Kaum kiri dan sosial-demokrat, selain miskin inovasi di dalam menyusun skema organisasi perjuangannya, juga gagal meyakinkan publik mengenai platform perjuangan yang lebih praktikal. Kebiasaan berwacana di tataran ideologi abstrak menyebabkannya tak begitu mendapatkan dukungan publik yang lebih luas, selain persoalan-persoalan konflik internal yang tak berkesudahan.
Karena itu, dengan gampang desain kaum liberal diterima menjadi desain baru sistem politik Indonesia, sementara sistem ekonomi kapitalistik tinggal meneruskan skema ekonomi Orde Baru dengan berbagai polesan kecil ditambah penetrasi ide neoliberalisme ke dalam sistem ekonomi. Penguasaan yang lemah akan modal sosial, finansial dan jaringan sosial-politik yang miskin, ditambah miskinnya kreasi, mendorong kaum kiri dan sosial-demokrat berada di pinggiran.

Baca Juga:  Sukseskan Pilpres dan Pileg 2019, Wabup Inhil: Jaga Persatuan dan Kesatuan.

Dalam posisi seperti inilah kemudian format ketatanegaraan kita disusun, dimana dominasi kaum liberal menjadi begitu dominan, selain kelompok pragmatis yang memang merupakan pemain lama di dalam pentas politik dan ekonomi nasional (saya menyebutnya sebagai broker politik dan ekonomi suatu istilah yang mungkin secara akademik kurang tepat). Tidak heran, bila kemudian arah reformasi sistem politik menjadi hampir tidak terkawal. Perubahan konstitusi mau pun akibatnya terhadap perubahan institusi dan norma perilaku berpolitik, kebijakan dan praktek politik pemerintahan jauh dari apa yang dicita-citakan oleh kaum kiri dan sosial-demokrat.
Maka dari itu berpolitik lah sesuai dengan amanat dari pada UUD 45 yang menjadi konstitusial negara sehingga melahirkan suatu demokrasi yang pada hakikatnya dari rakyat oleh rakyat untuk masyarakat madania.

Nasionalisme Indonesia saat ini ada karena di pertahankan oleh keajaiban rasa patriotik yang membuat rakyat merasa bangga untuk mengakui menjadi bagian dari sebuah bangsa dan negara yang bernama Indonesia dan tidak lebih daripada itu. Fenomena ini tidak boleh berlanjut dan harus di hentikan, di tengah globalisasi yang membuat dunia ini flat broderless, sangat rentan hanya mengharapkan pada rasa patriotik dari warga negara tersebut, karena bisa di luluhkan dengan di iming-imingi harta dan kekuasaan.
Hal ini sangat mengencam kepentingan nasional karena kecenderungan pola relasi internasional di era globalisasi bisa merupakan bentuk baru model penjajahan. Ini dapat merongrong kedaulatan bangsa dan negara di bidang ekonomi, politik, budaya, pertahanan dan keamanan serta memperlemah kapsitas negara untuk melindungi rakyat dan kepentingan strategis nasional.
Dan salah satu dari akaibat penjajahan adlah penindasan, eksploitasi yang memiskinkan bangsa ini, oleh karena itu kemerdekaan merupakan jembatan emas untuk meraih kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Wajar adanya apabila saat ini rakyat Indonesia kehilangan orientasi ideologis nasionalismenya karena memang kesejahteraan mereka tidak kunjung membaik, dengan kata lain kemerdekaan tidak memberikan peluang bagi mereka untuk meraih kesejahteraan yang didambakan kemerdekaan belum memiliki arti secara ekonomis. Dengan begitu nasionalismenya harus di bangun di atas pondasi kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan secara merata.

Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.[1] Dalam bentuknya sebagai organisasi masyarakat, Negara merupakan organisasi masyarakat terbesar dengan keanggotaan yang mutlak. Karena anggota suatu Negara atau warga Negara, dia tidak bisa memiliki keanggotaan di Negara lainnya.

Baca Juga:  Bersampena Hari Sumpah Pemuda, BEM UIR Gelar Acara Malam Kesenian

J. Barents, dalam ilmu politika : “ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan bermasyarakat dengan negara sebagai bagiannya. Ilmu politik mempelajari Negara dan bagaimana Negara tersebut melakukan tugas serta fungsinya (De wetenschap der politiek is de wetenschap die het leven van de staat een onderdeel vormt. Aan het onderzoek van die staten, zoals ze warken, is de wetenschap der politiek gewijd).
Ilmu politik tidak pernah terpisah kajiannya terhadap Negara, karena Negara merupakan sekolompok manusia yang kemudian disebut sebagai masyarakat dan mengikrarkan diri bersama untuk tergabung di dalam suatu wadah Negara. Kajian terhadap Negara akan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan diikuti perkembangan masyarakat. Hal ini yang menjadi ketertarikan untuk menggeluti hukum ketata negaraan, karena objek kajiannya bersifat dinamis.
Indonesia sebagai Negara tentu saja menjadi objek kajian yang terus berkembang, baik dalam kerangka bentuknya, struktur ketata negaraan, sampai proses politik yang berkembang di Indonesia akan selalu menarik diikuti perkembangannya. Negara Indonesia memiliki dasar dalam proses penyelenggaraan negaranya di dasar konstitusisional yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Terkait bentuk Negara, sejak pertama kali disahkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan reformasi yang berujung amandemen terhadap dasar konstitusi Negara, bentuk Negara Indonesia sebagai Negara Republik tidak pernah berubah. Hal ini termaktub dalam Pasal 1 ayat 1 bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Selain itu konsep bernegara di Indonesia yang kemudian menentukan bagaimana Negara akan dijalankan tertuang dalam pasal 1 ayat 2 yang berbunyi ; Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Meskipun ayat 2 dari pasal 1 konstitusi Indonesia adalah bunyi UUD 45 hasil amandemen, akan tetapi semangat kedaulatan rakyat sudah ada sejak UUD 45 di sahkan.

Sudahlah tak butuh janji dustamu perayu kacangan pentakwil kata surga padahal omong kosong bara NERAKA bibir manis mu berikan bisa racun benci jadi cinta rinduh berujung amarah tapi sayang Qiblatmu permainan sandiwara mu wahai durjanah dan jika besi kau tiup kepingan emas maka tak mungkin aku percaya logika atau otak waras terlalu cerdas muslihat, sihir setan trengginas…
Cukuplah dustamu pernah dalam saku menggantung hajat terdesak sesak tapi sekali bukan untuk kedua kali dusta termakan dusta jauh dipercaya …
Sejarahmu terlahir omong kosong mimik wajah orator pecandu tipu selongsong dan dusta berbungkuskan rapi oleh kain sutra.[rls].

Komentar