Aceh Utara:Riaunet.com- Nasib sebahagian besar kaum tani dan nelayan di Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara sangat menyedihkan hingga memerlukan
pemikiran khusus dari semua bagaimana jalan keluar untuk memberdayakan
penghidupan mareka agar keluar dari himpitan kemiskinan.
Hal ini disampaikan Hendra Saputra salah tokoh muda yang mengaku rajinmenelusuri daerah pedalaman dan pesisir pantai saat berbincang bincang
terhadap nasib pertani dan nelayan , Rabu (13/3)
Dikatakannya, kondisi para petani dan nelayan wilayah Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe saat ini sungguh sangat memprihatinkan dan butuh
perhatian yang serius dari pemerintah Aceh.
“Petani dan nelayan di dua daerah tersebut selama ini dirasakan sangat minim tersentuh bantuan yang bersumber dari dana APBA, padahal mereka kalangan petani dan nelayan sangat membutuhkannya,” ujar Handra
Saputra
Menurutnya, yang dibutuhkan oleh petani dan nelayan mungkin sangat sederhana dan kesemuanya merupakan sarana penunjang bagi peningkatan dan kelancaran usaha mereka seperti bibit palawija, pupuk, jaring dan bibit ikan yang disertai pelatihan.
Petani dan nelayan sangat berharap terhadap bantuan tersebut lantaran keterbatasan modal serta pengetahuan yang mereka miliki..
“Jangankan membeli bibit, pupuk atau jaring ikan, untuk makan sehari-hari saja mereka sudah susah, Hendra berharap PLT Gubernur Nova Iriansyah lebih memperhatikan nasib warga petani dan nelayan,” katanya
Hendra juga mengaku prihatin melihat masih cukup banyak khususnya warga nelayan yang mendiami pesisir pantai di Aceh Utara dan kota
Lhokseumawe dililit kemiskinan. Dia melihat berjejernya rumah rumah tidak layak huni menghiasi pemukiman mareka.
Semua mungkin akan bertanya “Mengapa banyak nelayan di Aceh Utara masih miskin?”. Pertanyaan ini memang sederhana namun cukup menggelisahkan dan harus segera dicari solusi untuk mengangkat derajat hidup kaum nelayan yang masih serba tertinggal itu.
Menurut Hendra, penyebab utama kemiskinan nelayan di Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe , terletak pada pola patron-klien yang begitu
menggurita antara nelayan dengan majikan (mugee). Pola ini pula yang menyebabkan penghidupan kaum nelayan turun temurun tetap miskin.
Dijelaskan, pola ini sangat sulit untuk dihilangkan. Hal ini terjadi
karena para kalangan mugee adalah alternatif satu-satunya ketika nelayan menghadapi kesulitan sewaktu akan pergi melaut, baik itu
keperluan semasa berada dilaut seperi solar, beras dan es pengawet ikan serta kebutuhan anak istri yang ditinggalkan dirumah.
Hal demikian sudah berlangsung secara berkesinambungan hingga kaum
nelayan tidak mampu meningkatkan taraf hidupnya.
Selain itu, tambah Hendra, persoalan tanah juga menjadi masalah pokok bagi nelayan, sehingga kehidupannya tak kunjung meningkat. Kondisi bisa disaksikan sepanjang pesisir Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe yang sebagian besar nelayan tidak mempunyai tanah yang luas, praktis tanah untuk hunian tempat tinggal saja yang dimiliki.
Hal lain adalah masih minimnya kualitas sumber daya manusia karena sebagian besar masyarakat nelayan berpendidikan rendah, padahal tingkat pendidikan sangat berpengaruh dan menjadi penyebab kemiskinan sangat lengket terhadap nelayan.
Sementara regulasi bantuan yang
dikeluarkan pemerintah untuk nelayan dirasakan masih minim.
Terhadap kondisi penghidupan nelayan yang terus dililit kemiskinan diperlukan kepedulian dari berbagai pihak dalam memecahkan persoalan-persoalan nelayan. Baik itu dari kalangan pemerintah sendiri, akademisi, LSM, dan pihak lain yang peduli dengan kondisi sosial-ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat nelayan di dua daerah ini.
Mungkin dari hasil sharing lesehan tersebut lahir sebentuk ide dan gagasan tentang diperlukannya sebuah sarana yang efektif untuk memfasilitasi keberadaan para nelayan. Sehingga apa yang menjadi kendala bagi mereka sedikit demi sedikit dapat teratasi. “Entahlah,siapa mau peduli”, keluhnya.(MI)
Komentar