Pekanbaru:Riaunet.com-Tim terpadu penertiban lahan sawit ilegal yang dibentuk oleh Gubernur Riau, Syamsuar pada 12 Agustus 2019 yang lalu di Pekanbaru telah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Keresahan ini umumnya dialami oleh petani sawit swadaya yang membuka lahan sawit di lokasi yang peruntukkannya meragukan secara hukum dan belum memiliki sertifikat.
Kondisi ini menurut Direktur Eksekutif Pijar Melayu Rocky Ramadani perlu segera diperjelas oleh Satgas Penertiban lahan sawit Ilegal bentukan Gubernur Riau.
“Persoalan lahan di Riau termasuk lahan perkebunan masyarakat umum telah lama dibiarkan tanpa kejelasan status peruntukkan lahan. Dalam catatan kami, perluasan perkebunan rakyat banyak dibuka di atas lahan yang diperebutkan masyarakat dengan korporasi perkebunan. Situasi ini terkadang melibatkan intimidasi aparat pemerintah dan penegak hukum pada masa lalu, hingga kerap menyebabkan konflik agraria secara terbuka hingga kini,” ujar Rocky.
“Pijar Melayu sepenuhnya setuju jika Gubri berkeinginan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perkebunan sawit ilegal yang menurut data KPK dan Tim Monitoring DPRD Riau berjumlah 1,2-1,3 juta hektar. Namun kami menolak jika penertiban tersebut pada akhirnya akan merugikan petani swadaya yang saat ini sudah cukup tertekan oleh rendahnya harga sawit”, tandas anak jati Kuansing ini.
Karena itu Pijar Melayu menekankan upaya evaluasi menyeluruh terhadap perkebunan sawit di Riau diarahkan pada upaya mensinkronisasi luasan sawit korporasi perkebunan dengan HGU yang dimiliki. “Jika terbukti terdapat perbedaan luasnya, antara lahan yang dikuasai dengan yang tertera dalam HGU, maka harus dikembalikan kepada masyarakat. Sedangkan lahan yang resmi secara perizinan namun menunggak pajak, pemerintah niscaya melakukan penindakan hukum,” tegas Mantan Korwil Sumatera Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia ini.
Oleh karenanya, Pijar Melayu mengharapkan satgas penertiban lahan ilegal bisa bekerja sesuai hukum yang berlaku seperti Instruksi Presiden nomor 18 tahun 2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Pada Inpres ini disebutkan bahwa para gubernur di Indonesia hanya diinstruksikan oleh presiden untuk melakukan penundaan penerbitan rekomendasi/izin usaha perkebunan kelapa sawit dan izin pembukaan lahan kelapa sawit baru yang berada dikawasan hutan.
Pengumpulan dan verifikasi atas data dan peta izin lokasi dan izin usaha perkebunan atau Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan ini mesti diterukan kepada Menteri Pertanian dan Menteri Agraria. Sedangkan eksekusinya ada pada
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), guna penetapan areal yang berasal dari pengembalian tanah dari pelepasan atau tukar menukar.
Presiden Jokowi juga sudah membikin sederet regulasi tentang penyelesaian persoalan tanah di kawasan hutan. Mulai dari Perpres 88 tahun 2017 hingga Permenko No 3 Tahun 2018 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Tim dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.(rls).
Komentar