Oleh : Zunnur Roin /Pemuda Rohil
Pekanbaru:Riaunet.com-Sudah gaji kecil, Dikambing hitamkan lagi. Frasa itu cocok dikaitkan dengan Kebijkasanaan Merumahkan Honorer yang tampaknya menjadi Trend Pemerintah Daerah dalam menghadapi tekanan keuangan daerah yang kian merosot. Sempit saya mengulas adalah tentang negeri seribu kubah Rokan Hilir.
Rasio besaran biaya gaji dan APBD melulu dijadikan data Pembenaran kebijakan itu. “185 Milyar harus terkikis untuk membayar gaji honorer dari 1,6 Triliun APBD yang tersedia. Lebih-lebih, 900 Milyar harus di sediakan hanya untuk Membiayai belanja pegawai secara keseluruhan. Sehingga Pembangunan Mandek dengan sisa ketersediaan anggaran” Bualan itu seolah menjadi dalih Sakralnya kebijakan Pemecatan tersebut.
Honorer merupakan personil teknis birokrasi yang berkontribusi membantu urusan-urusan pemerintahan. Layaknya ASN, Mereka beratribut hampir sama dan Menyentuh teknis kerja yang hampir serupa. Tapi keceriaan mereka berbeda disetiap bulannya. Rupiah yang diharapkan Harap-harap mampu memenuhi Kebutuhan dan baru diterima setiap Caturwulan kerja.
Pergantian Tahun mereka tidak seindah ASN yang senantiasa memupuk masa pengabdian guna meningkatkan status Golongan. Justru ada yang sudah Berkarat menunggu kepastian untuk mendapat penghargaan dari Negara. Mereka Tetap Stagnan dan tinggal menunggu waktu untuk dicampakkan !
Menyedihkan Tidak ??? . Dibalik kegalauan itu, sebagian dari Mereka mesti berkompetisi untuk menjemput tuah hidup dengan ribuan pelamar lainnya dalam program rekrutmen PNS Secara nasional, yang saat ini tahapannya sedang berlangsung. Selebihnya penulis tidak tau seperti apa rutinitas mereka. Barangkali sembari menunggu Bupati untuk menunaikan janjinya dalam mengeluarkan formulasi baru rekrutmen. Hal tersebut sebagai komitmen Bupati dan massa aksi yang tergabung dalam gelar aksi di kantor bupati beberapa hari lalu.
Menyoal Dirumahkannya Honorer Dilingkungan Pemda Rokan Hilir, pada 18 September 2019 yang lalu adalah simbol Kebuntuan berfikir mengelola daerah yang dipelihara pemangku kepentingan di negeri mungil ini. Penulis tegasan kebuntuan itu dengan alasan yang faktual. Mereka dirumahkan dengan perlakuan yang tidak hormat. Mereka dirumahkan dengan status Hak yang belum diberikan. Mereka dirumahkan dengan legitimasi selembar surat sakti Bupati tanpa menerima Selembar rupiah pun Hak mereka selama 3 bulan terakhir bekerja.
Mereka di Pecat karena alasan ini-itu yang sejatinya karena Kegagalan daerah dalam menggali potensi daerah untuk di kepul sebagai Anggaran daerah. Dengan sedih pemda mengadu kerakyatnya bahwa besaran DBH Migas relatif kecil, Tapi Pemda tidak pernah menyuarakan tingginya SILPA sebagai bentuk kegagalannya menjalankan birokrasi. Hemat Genit Penulis menduga bahwa, Besaran APBD yang tahun ketahun menurun tidak menyurutkan niat beberapa pihak untuk mengalirkan anggaran kepada agenda-agenda korupsi program-program Titipan di satuan kerja, kendatipun belum terkuak di permukaan hukum. Bahkan yang mengejutkan, beberapa hari belakangan headline media massa memberitakan indikasi Program fiktif di lingkungan DPRD Rokan Hilir. Belum lagi Konteks lain yang bisa dkaitkan sebagai sebab musabab kondisi Rohil Hari ini. Katakanah Menciptakan Supremasi hukum terhadap beberapa Kasus Korupsi. Seperti kasus Jembatan Pedamaran, Pengadaan alat peraga multikonten pendidikan, dan lain lain.
Sejak 1999 Rohil berdiri sampai sekarang, dapat diasumsikan lebih diatas 15.000 Orang Jumlah Honorer yang mengabdi (Termasuk yang sudah meninggal dan diangkat sebagai PNS). Sebelum kebijakan pemecatan ini keluar, Honorer yang aktif tecatat berkisar 13.450 Orang mengisi ruang kerja Satuan kerja di lingkungan pemkab Rohil.
Jika kita melacak rekam historis Akumulasi Jumlah Honorer yang begitu besar, tidak terlepas dari Kebijakan intrik politis Pemimpin-pemimpin terdahulu. Hegemoni kekuasaan Annas Maamun yang cenderung otoriter adalah Cikal bakal persoalan ini. SK Honorer Daerah yang menjadi domain Bupati dijadikan instrumen untuk menarik dukungan masyarakat terhadap Rezim kala itu. Namun, Hal tersebut hemat penulis merupakan sebuah kebijaksanaan yang positif dalam mengakomodir Putra/putri daerah, dalam rangka mengabdi di sektor-sektor pekerjaan dibawah kendali Pemda. seperti Guru, Tenaga Kesehatan, Tenaga Administrasi di OPD, serta tenaga teknis lainnya. Hanya saja Pengangkatan Honorer tidak pernah melalui mekanisme Rekrutmen yang terukur.
Pertanyaannya, BKD sebagai organisasi yang memiliki tupoksi itu telah bekerja sejauh mana dalam menimbang jumlah Kebutuhan Tenaga Honorer dengan jumlah pos kerja yang dibutuhkan ??? Jawabannya sudah menjadi rahasia umum. Bahwa BKD Rohil pernah menjadi Lembaga Misteri yang sewaktu waktu bisa meneruskan kebijaksanaan Bupati untuk Mengangkat, Memutasi, Dan Memberhentikan Pegawai. Kendatipun Jumlah APBD Rokan hilir kala itu masih diangka yang produktif.
Fenomena diatas dapat membangun hipotesa untuk menjustifikasikan Mantan Bupati Annas Maamun, Bupati Suyatno , dan BKD Rohil ,Harus Bertanggung Jawab Moral atas Kondisi Buruk yang menimpa honorer Hari ini. Sangat kompleks memang jika diuraikan argumentasi logis penulis atas justifikasi diatas jika dimuat dalam tulisan sederhana ini. Semoga ada resolusi terbaik dalam menghadapi persoalan honorer malang ini, dan normalisasi pendapatan keuangan daerah secara umum. Secara moril, penulis akhirnya tertarik melacak kontribusi kebijakan pemerintah pusat terhadap kondisi yang menimpa sebagian daerah seperti yang dialami rohil saat ini. Penulis akan beri jawaban dalam narasi selanjutnya. [rls].
Komentar