Banda Aceh:Riaunet.com- Pernyataan kepala BKSDA terkait surat LPLA Nomor : 088/SEK/LPLA/X/2018, tertanggal 05 Oktober 2018 silam dinilai salah kaprah, kepala BKSDA Aceh justeru dinilai gagal paham memahami maksud surat tersebut. Pasalnya kepala BKSDA mengatakan belum ada kerugian negara dalam 3 paket tender di instansinya, sehingga untuk apa KPK turun.
” Pernyataan kepala BKSDA semakin terlihat gagal paham, seharusnya PPK memberikan pemahaman yang benar kepada pimpinannya tentang aturan-aturan dalam pelaksanaan tender. Inikan terkesan kepala BKSDA seakan tak paham aturan, atau jangan-jangan PPK tidak menyampaikan pertimbangan yang benar bahkan bisa jadi PPK juga tak mengerti aturan tender yang benar sesuai Perpres Nomor 16 Tahun 2018 dan Perka LKPP,” ungkap Sekjen LPLA, Delky Nofrizal kepada media ini, Selasa (16/10/2018)
Menurut Delky, suratnya ditujukan kepada Inspektorat Investigasi
Irjen Kementerian LHK sebagai lembaga audit internal di kementerian LHK, bukan ke KPK. “Surat itu kita tembuskan ke KPK karena sebagai bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan pelelangan ulang yang kedua kalinya untuk Pembangunan dan pengembangan sarpras wisata alam di TWA Kepulauan Banyak Singkil dengan pagu Rp. 1.412.170.600, Pembangunan dan pengembangan sarpras wisata alam di TWA Pulau Weh Sabang dengan pagu Rp.787.251.750,- dan Pembangunan dan pengembangan sarpras di TWA Jantho dengan pagu sebesar Rp. 591.742.000,- pada LPSE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2018 oleh Pokja Pengadaan Pekerjaan Konstruksi pada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh. Jadi baca dulu secara cermat surat tersebut, jangan gagal paham gitulah pak Kepala BKSDA. Bukankah suratnya juga kita tembuskan ke BKSDA, ungkap Delky
Delky memaparkan, langkah pihak Pokja membatalkan lelang pertama ketiga paket tersebut dengan alasan “tidak ada perusahaan yang memenuhi persyaratan” padahal tahapan lelang telah melewati tahapan pembuktian kualifikasi, lalu Pokja memutuskan bahwa ketiga paket tersebut harus dilakukan pelelangan ulang.
Dia melanjutkan, pada pelelangan ulang juga ditemukan kejanggalan pada lelang paket Pembangunan dan pengembangan sarpras di TWA Jantho, dimana pada lelang sebelumnya pihak Pokja/ULP melalui LPSE telah menyatakan CV Lutfi Utama sebagai pemenang. Disebabkan banyaknya komplain dari peserta lelang, akhirnya PPK membatalkannya dengan alasan adanya kesalahan teknis dari pihak pokja. Padahal, alasan kesalahan teknis dari Pokja tersebut tidak termasuk dalam alasan kategori tender yang dianggap gagal sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2018 Bab VII Bagian Dua pasal 51 ayat 2. Hal serupa juga terjadi pada pelelangan dua paket pekerjaan lainnya.
Dia menambahkan, setelah mengalami kegagalan lelang sebanyak dua kali, pihak Pokja kembali membuka pelelangan untuk ketiga kalinya pada tanggal 26 september hingga 2 oktober 2018.
“Hal ini berpotensi melanggar Perpres Nomor 16 Tahun 2018 Bab VII tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia, pada bagian dua pasal 51 ayat 10 yang menyatakan bahwa dalam hal Tender/Seleksi ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (9) gagal, Pokja Pemilihan dengan persetujuan PA/KPA melakukan Penunjukan Langsung, apalagi kebutuhan tidak dapat ditunda; dan tidak cukup waktu untuk melaksanakan.
Menurut pasal 38 ayat (5) huruf (h) Perpres Nomor 16 Tahun 2018 dinyatakan bahwa kriteria barang/ pekerjaan konstruksi/jasa lainnya untuk keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang setelah dilakukan Tender ulang mengalami kegagalan,” jelasnya.
Selanjutnya, kata Delky, pada lampiran Perka LKPP Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Melalui Penyedia Poin 3.2.1 terkait Metode Pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Kontruksi, huruf (a) tentang Penunjukan Langsung butir ke (8) dijelaskan bahwa kriteria penunjukan langsung kriteria penunjukan langsung Penyedia Barang/Pekerjaan Kontruksi lainnya apabila setelah tender ulang juga mengalami kegagalan.
“Inikan semakin menguatkan bahwa pelaksanaan pelelangan ketiga paket tersebut diatas telah melanggar Perpres nomor 16 tahun 2018 Bab VII tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia dan Perka LKPP Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Melalui Penyedia. Karena perpres dan perka LKPP sebagai acuan ini telah ditabrak, maka kita mensinyalir adanya pelanggaran aturan,”terangnya.
Delky juga mengatakan, kajian kepala BKSDA yang menyatakan waktu pelaksanaan pekerjaan itu cukup, juga terkesan memaksakan. Karena,, kata Delky, berdasarkan Peraturan Dirjen Perbendaharaan Belanja Negara Nomor 183 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerimaan dan Pengeluaran Negara Pada Akhir Tahun Anggaran 2018 batas akhir pengajuan pembayaran suatu pekerjaan (SPM – LS Kontraktual) yakni tanggal 21 Desember 2018, tentunya pihak penyedia barang/jasa pemerintah tentunya harus menyerahkan pekerjaan sebelum tanggal tersebut. Sementara, jika dilihat dari jadwal pelaksanaan lelang tahap ketiga dimana penandatanganan kontrak akan dilakukan pada tanggal 16 Oktober 2018, maka sisa waktu untuk pelaksanaan ketiga paket pekerjaan diatas hanya sekitar 65 hari, sehingga besar kemungkinan pekerjaan tersebut tidak selesai dikerjakan dan terbengkalai. Jika terbengkalai, tentunya ini menjadi temuan. Seharusnya kepala BKSDA Aceh sadar bahwasanya tak semua hal bisa dipaksakan sesuai keinginannya tanpa melihat lebih detail penjelasan dalam aturan,” sebutnya.
Tak hanya itu, kata Delky, terdapatnya syarat bagi perusahaan penyedia yang harus memiliki pengalaman pengadaan pekerjaan konstruksi minimal satu pekerjaan sebagai penyedia barang dan jasa dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir juga bertentangan dengan Perka LKPP Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Melalui Penyedia Poin 3.4.2 tentang Syarat Kualifikasi Teknis Penyedia.
Dari sejumlah aturan yang ditabrak itulah, pihaknya mensinyalir adanya upaya pemaksaan agar pelelangan tahap ketiga tetap dilaksanakan dan upaya pengaturan pemenang yang berpotensi terjadinya pelanggaran aturan. Hal ini tentunya telah bertentangan dengan prinsip-prinsip pengadaan yang transparan, terbuka, akuntabel, bersaing, dan tidak diskriminatif serta berpotensi rawan terjadinya praktik KKN.
“Jadi, anehnya kepala BKSDA terkesan ngotot agar ketiga paket itu tetap harus ditender. Kemudian, dia mengambil dalih pepres 54 tahun 2010 pasal 93 sementara perpres 16 tahun 2018 itu sendiri adalah perubahan dari Perpres itu. Inikan aneh lagi, semakin lihat kepala BKSDA sedang berupaya berkilah. Saran kami, baca dan pahami dulu isi surat kami yang juga kami tembuskan ke BKSDA itu. Apa mungkin tembusan surat itu belum dibaca atau disembunyikan oleh staf nya. Mirisnya, kaliber Kepala BKSDA tak menguraikan pasal mana, isi aturannya seperti apa,” tandasnya.
LPLA meminta Kejaksaan dan kepolisian untuk tidak menutup mata, dan segera memanggil pihak pokja dan PPK BKSDA Aceh untuk meminta penjelasan dan mengusut tuntas alasan mereka menabrak aturan tersebut.
“Pihak kepolisian dan kejaksaan juga kami minta untuk memanggil, dan mempertanyakan pihak PPK dan Pokja BKSDA Aceh agar terang benderang kenapa mereka menabrak sejumlah aturan di atas. Pihak penegak hukum jangan loyo lah, indikasi pelanggaran aturannya jelas, bahkan hal ini bisa jadi berpotwnsi mengarah kepada terjadinya praktek KKN. Kalau tidak terindikasi pelanggaran hukum, mana mungkin aturan dikangkangi dan pelaksanaan dipaksakan. Tak hanya itu, kami juga meminta pihak penegak hukum terus melakukan pemantauan terkait ketiga paket ini, demi terwujudnya penegakan hukum yang tak pandang bulu atas pelanggaran-pelanggaran yang ada,” pungkasnya. [Rls/MI].
Komentar