Aceh Utara:Riaunet.com-Erni Putri, seorang perempuan yang lahir di gampong terpencil, Simpang Tiga Bies Aceh Tengah, 1974 sukses dalam berorganisasi memiliki cerita tersendiri setelah mengamati kehidupan perempuan terutama yang tinggal di pedesaan
Menurut Erni, kehidupan perempuan baik diperkotaan maupun pedesaan ditemukan banyak ketimpangan dan belum adil. Belum banyak menyentuh sisi kehidupan perempuan terutama perempuan desa dengan segala aspek yang melingkupinya.
Dalam hubungan ini, Erni yang sehari hari berkecimpung dalam berbagai organisasi perempuan dan memimpin Koperasi Wanita (KOPWAN) didaerah tempat tinggalnya mengaku, banyak sisi yang perlu digali dari kehidupan perempuan desa, baik dari ranah kehidupan individu, sosial, pola pikir, etos kerja dan problem-problem kekinian lainnya.
Coba bayangkan paparnya, kuatnya dikotomi antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan tak pelak menghadirkan sejumlah anasir yang merembet pada pencitraan perempuan desa. Keberadaan perempuan desa yang selalu diasosiasikan dengan keterbelakangan, membuat derajat perempuan desa seolah lebih rendah dibandingkan perempuan kota.
Ironisnya lagi, sebutan perempuan desa dengan perempuan kota hanya didasarkan pada perbedaan tempat tinggal sehingga terjadi generalisasi yang tidak tepat. Kaum perempuan yang tinggal di perkotaan dikesankan jauh lebih maju dibanding kaum perempuan yang tinggal di pedesaan. Padahal realitasnya tidak selalu demikian.
Menurut Erni saat berbincang dengan Media ini di kantor Kopwan Malahayati Dewantara yang dipimpinnya belum lama ini menuturkan, ada kalanya perempuan desa bisa tampil lebih maju dan mampu mengukir prestasi dalam ranah kehidupan. Sementara tidak sedikit perempuan kota yang kondisinya tidak jauh lebih baik dari perempuan desa
Jika demikian kenyataannya lanjut Erni, masih perlukah kita mempertahankan dikotomi yang tidak fair itu?. Sesungguhnya perempuan desa memiliki sekat tersendiri ketika mereka berhadapan dengan problem-problem kekinian. Mereka yang selama ini dikesankan sebagai sosok sederhana, tidak banyak tingkah dan menerima keadaan, sesungguhnya menyimpan potensi luar biasa yang mampu menciptakan perubahan jika diberdayakan secara maksimal.
Justru yang terlihat sekarang ini perempuan desa sedang mengalami semacam fase perubahan mengiringi arus modernitas dan globalisme dunia modern. Sebagian perempuan desa mulai mengalami fase berpenampilan ingin sama, dari yang semula pasif dan lugu kini telah menjelma menjadi sosok yang penuh inisiatif dan tidak mudah mengalah.
Erni mencontohkan, meningkatnya taraf pendidikan dan bertambahnya pengalaman di luar tempat tinggalnya membuat perempuan desa meningkat daya kritisnya dan tidak mudah dikendalikan pihak lain. Bahkan perempuan desa yang lahir diatas tahun 1970-an barangkali sudah mulai bangkit kesadarannya untuk merubah citra kampungan menjadi perempuan yang setara dengan perempuan kota.
Sebab antara perempuan kota dengan perempuan desa memiliki kesempatan yang sama dalam memperjuangkan nasib dan kesetaraan dalam makna yang sesungguhnya.
Dapat dirasakan, perempuan desa mulai berani memberontak dan berusaha melepaskan diri dari kungkungan yang membelenggunya. Lihatlah dalam hal penampilan fisik, cara berpakaian, bertutur kata dan hal-hal lainnya. Antara perempuan desa dengan perempuan kota kini nyaris sama, meskipun dalam hal-hal tertentu masih ada perbedaan.
Begitu juga dalam kancah sosial politik dan ekonomi, sebagian perempuan desa juga telah mengambil alih posisi, bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Hal ini dapat dibuktikan dengan kian meningkatnya jumlah perempuan desa yang terjun dalam dunia usaha, berdagang atau lainnya.
Banyak perempuan desa telah mampu mencari posisi dan pengalaman baru dalam hidupnya. Kelonggaran regulasi yang diberikan pemerintah telah dimanfaatkan sedemikian rupa oleh perempuan desa untuk merubah nasib dan meningkatkan derajat kehidupannya.
Pemberdayaan perempuan yang selama ini diperjuangkan banyak pihak merupakan bagian dari strategi memajukan kaum perempuan. Perjuangan ini tentu saja tidak mengenal batas geografis maupun strata sosial. Kaum perempuan di manapun tempat tinggalnya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perhatian.
Karenanya, Erni meminta Pemerintah Aceh untuk lebih memfokuskan program pemberdayaan perempuan sebagai program prioritas.
“Pemberdayaan perempuan tampaknya masih terbatas retorika belaka dan belum tercermin dalam kebijakan daerah yang nyata,” kata Erni yang mengaku telah menelusuri beberapa daerah pedalaman di Aceh.
Menurutnya, di satu pihak pemerintah ingin memajukan dan memberi peran yang signifikan kepada perempuan. Namun, di sisi lain kurang sekali keinginan tersebut diikuti dengan kebijakan daerah yang nyata untuk mewujudkannya. Bila dilihat dari jumlah penduduk, maka jumlah perempuan di Aceh saat ini lebah banyak dari kaum lelaki.
Karenanya sebagai silent majority beri kesempatan dan ketrampilan kepada perempuan agar dapat meningkatkan harkat dirinya.
“Sudah cukuplah cerita penderitaan Tenaga Kerja Wanita Aceh yang bekerja di luar negeri. Kondisi yang dialami mereka tidak terlepas dari margjinalisasi dan subordinasi yang berakibat rendahnya keterampilan”, papar Erni Putri kepada media ini Kamis (25/10/2018). [MI].
Komentar