JAKARTA- Lokataru Foundation mengkritik sikap Presiden Joko Widodo atau Jokowi terhadap pemberantasan korupsi. Pemerintahan Jokowi dinilai abai atas berbagai hambatan nyata dalam upaya memerangi korupsi. Pratik teror, kekerasan dan kriminalisasi masih terus dihadapi para pengungkap korupsi, whistleblower dan para aktivis.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar, mencontohkan perkara yang menimpa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan.
Ia menilai penyidikan kepolisian atas kasus tersebut disebut gagal dan buntu. Namun, Jokowi tidak melakukan langkah yang diharapkan publik, yaitu membentuk sebuah tim independen pencari fakta.
“Kegagalan pengungkapan kasus ini terus memberikan angin segar pada koruptor dan kaki tangannya,” katanya seperti dilansir keterangan tertulis, Ahad, 9 Desember 2018.
Kriminalisiasi juga dihadapi masyarakat yang mengungkap kasus korupsi.
Pada November 2018, Mulkansyah, aktivis National Corruption Watch (NCW) Riau menjadi terdakwa dan diadili dalam kasus pencemaran nama baik atas perannya mengungkap kasus korupsi di Riau yang diduga melibatkan Bupati Lingga, Alias Wello.
Toro ZL, seorang wartawan atau Pemimpin Redaksi Media Harian Berantas di Riau, juga diadili dengan dakwaan pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE lantaran memberitakan dugaan korupsi dana bansos yg merugikan negara sebesar Rp204 miliar dari jumlah nilai anggaran Rp272 miliar lebih. Korupsi luar biasa itu diduga melibatkan Bupati Bengkalis.
Haris juga mencatat kriminalisasi terhadap Tri bersama empat kawannya sesama mantan pengurus Serikat Pekerja PT Peruri. Mereka dituduh mencemarkan nama baik karena mempertanyakan dugaan praktik korupsi dalam pengadaan barang di lingkungan perusahaan.
Beruntung, mereka diputus bebas ditingkat pertama, PN Jakarta Selatan. Mahkamah Agung kembali menguatkan putusan bebas mereka pada Agustus 2018, .
Serangan terhadap upaya pemberantasan korupsi juga dialami Indonesialeaks.com pada Oktober 2018. Gabungan sejumlah media dan organisasi masyarakat sipil untuk menyediakan kanal bagi para whistleblower itu menghadapi serangan, gugatan hukum, dan upaya kriminalisasi dari sejumlah pihak yang terganggu oleh pemberitaan investigatif skandal buku merah. Laporan itu mengungkap upaya menghilangkan bukti dalam praktik korupsi dan suap yang diduga melibatkan Jenderal Tito Karnavian.
Haris menyatakan, temuan tentang buku merah ini menimbulkan desakan publik agar diungkap. Namun dia melihat KPK seperti enggan. Sementara itu, Presiden Jokowi tidak bergeming.
Hambatan pemberantasan korupsi juga dialami Basuki Wasis, saksi ahli KPK dalam kasus korupsi Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam. Pada Agustus 2018, dia digugat perdata ke pengadilan. Peristiwa ini, kata Haris, menandai tren baru serangan balik koruptor yang tidak hanya menyasar pelapor dan KPK.
Haris mengatakan, berbagai ancaman dan risiko yang disebutkan di atas menunjukkan pentingnya upaya untuk memberikan perlindungan yang lebih memadai terhadap peran warga negara dalam mengungkap korupsi. Jaminan perlindungan pelapor melalui UU LPSK dan UU Nomor 31 Tahun 2014 dalam praktik masih kurang berjalan secara efektif.
Di area kerangka hukum dan peraturan perundang-undangan, Haris juga menyatakan pemerintah gagal untuk memperkecil kesenjangan antara kerangka hukum nasional dan UNCAC. Dari 32 rekomendasi UNCAC, mayoritas gagal dijalankan pemerintah Indonesia. Dia mencatat, hanya 9 rekomendasi yang dijalankan. “Itu pun di antaranya masih bersifat parsial, salah satunya terkait perlindungan pelapor tindak pidana korupsi,” katanya.[Rom/rls].
Komentar